Fasekemajuan terjadi pada tahun 650 -1250 M yang ditandai dengan sangat luasnya kekuasaan Islam, ilmu dan sain mengalami kemajuan dan penyatuan antar wilayah Islam dan fase kemunduran terjadi pada tahun 1250 - 1500 M. yang ditandai dengan kekuasaan Islam terpecah-pecah dan menjadi kerajaan-kerajaan yang terpisah pisah.
- Bacaan manaqib Syekh Abdul Qadir Al-Jailani masih dilantunkan Kiai Uus dalam haul KH. Encep yang pertama di Bogor. Pembacaan ini menjadi rangkaian akhir acara setelah dilakukan pembacaan doa khatam Al-Qur’an dan tahlil. Usai manaqib dan doa penutup, jemaah yang datang mendapatkan suvenir dari tuan rumah berupa sarung yang dibungkus goodie bag berwarna merah. Makanan khas tahlilan juga didapatkan jemaah ketika acara berakhir. Manaqib merupakan memoar yang umumnya membahas riwayat hidup, garis keturunan, pendidikan, akhlak, keistimewaan-keistimewaan, hingga waktu wafatnya seorang tokoh besar yang dibacakan pada acara-acara tertentu, seperti syukuran, haul peringatan kematian, dan peringatan acara keislaman lain. Abdul Qadir Al-Jailani atau Al-Jaelani merupakan tokoh yang dianggap wali, sultannya para aulia, kerap dijuluki juga Kanjeng Tuan Syekh. Beliau merupakan tokoh sufi yang umumnya sering dibacakan dalam pembacaan manaqib di Indonesia. Tarekatnya memiliki pengaruh yang besar dalam khazanah keislaman di Nusantara. Awal Mula Tasawuf di Indonesia Pada awal masuknya Islam ke Indonesia, tasawuf menjadi salah satu tradisi intelektual yang berkembang pesat. Hampir semua ulama terkemuka pada periode itu adalah para sufi. Tasawuf atau sufisme masuk melalui berbagai jalur, termasuk melalui perdagangan, pernikahan, dan dakwah. Namun, pengaruh tasawuf di Indonesia pada awalnya terutama berasal dari para pedagang Arab, Persia, dan India yang berdagang ke wilayah membawa ajaran tasawuf dan menyebarkannya melalui aktivitas dagang di pelabuhan-pelabuhan utama. Mereka juga membawa kitab-kitab dan tulisan-tulisan tentang tasawuf yang kemudian dikaji dan dipelajari oleh masyarakat setempat. Pada awalnya tasawuf di Indonesia dipraktikkan secara individu dan tidak dianut sebagai sebuah tarekat. Namun, dengan berkembangnya jumlah orang yang tertarik dengan ajaran tasawuf, maka terjadilah transformasi tasawuf dari sekadar metode menjadi organisasi, yang kemudian dikenal dengan sebutan setempat yang tertarik dengan ajaran Islam kemudian berguru kepada para sufi dan membentuk komunitas-komunitas Islam yang berkembang menjadi pesantren dan majelis-majelis zikir. Ini terjadi antara abad ke-13 hingga ke-16, ketika tarekat-tarekat mulai tumbuh. Para sufi seperti Hamzah Fansuri yang bertarekat Qadiriyah, berperan penting dalam mengembangkan pemikiran tasawuf di Indonesia, yang kemudian membentuk tarekat-tarekat yang lebih terorganisasi. Tarekat-tarekat inilah yang menjadi tulang punggung dakwah Islam dan memainkan peranan penting dalam memperkuat akar Islam di Nusantara. Karya-karya Hamzah Fansuri seperti Syaran al-Asyiqin yang membicarakan tarekat, syariat, hakikat, dan makrifat bahkan dikenal luas dan diterjemahkan dalam bahasa Jawa. Manuskrip aslinya kini tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, dengan pengkodean Arifin dalam Sufi Nusantara Biografi, Karya Intelektual, & Pemikiran Tasawuf 2013 menulis bagaimana pengaruh Hamzah Fansuri lewat doktrin wahdat al-wujud menjadi rujukan Kesultanan Buton di Sulawesi, juga menjadi ilham lahirnya berbagai suluk di tanah Jawa. Periode berikutnya muncul beberapa tokoh awal tasawuf di Nusantara yang signifikan antara lain Syamsuddin As-Sumatrani, seorang syekh sufi yang banyak berkontribusi dalam bidang tasawuf dan menulis beberapa karya di antaranya Jauhar al-Haqa’iq, sebuah kitab berbahasa Arab yang berisi 30 halaman mengenai hakikat-hakikat tasawuf. Lantas ada Syekh Nuruddin Ar-Raniri, syekh sufi yang tinggal di Aceh pada abad ke-17. Ia mengarang kitab berbahasa Melayu Bustan al-Salatin yang membahas tentang etika dan moral dalam menjalankan pemerintahan. Selanjutnya ada Syekh Yusuf Al-Maqassari, syekh sufi yang berasal dari Sulawesi Selatan yang bertarekat Naqsyabandiyah. Ia banyak berperan dalam penyebaran agama Islam di wilayah Sulawesi dan melakukan perlawanan terhadap Belanda hingga diasingkan ke Afrika Selatan. Dalam perkembangannya, tasawuf di Indonesia juga dipengaruhi oleh tradisi keagamaan lokal seperti kejawen, kebatinan, dan mistisisme Jawa. Hal ini terlihat dalam cara pelaksanaan zikir atau wirid, serta dalam praktik-praktik keagamaan yang unik dan berbeda dengan praktik-praktik tasawuf di Timur Tengah. Pada masa ini lahirlah Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, dan tokoh sufi kontoversial, Syekh Siti Jenar. Peran Alawiyyin dan Wali Songo Perkembangan tasawuf di Indonesia setelah masa awalnya juga dapat dikatakan sebagai puncak penyebaran ajaran Islam, yakni sekitar abad ke-16 hingga ke-19. Pada masa ini, tasawuf berkembang pesat dan menjadi salah satu kekuatan besar dalam kehidupan sosial keagamaan Indonesia. Beberapa keturunan Nabi Muhammad yang berdatangan sejak abad ke-14, kemudian dikenal dengan Alawiyyin, juga memengaruhi corak dakwah dan tasawuf di Indonesia. Dibarengi dengan tarekat-tarekat sufi yang dikembangkan Wali Songo juga tumbuh subur. Salah satu Wali Songo ialah Sunan Bonang, beliau adalah putra dari Sunan Ampel. Ia mengajarkan tentang pentingnya menaklukkan tiga musuh utama manusia, yaitu dunia, hawa nafsu, dan setan. Lalu ada Sunan Kalijaga, dikenal sebagai tokoh sufi toleran yang menggabungkan ajaran Islam dengan budaya lokal. Mereka mengajarkan tasawuf melalui metode-metode yang sederhana dan mudah dipahami oleh masyarakat awam. Misalnya sering menggunakan bahasa dan simbol-simbol yang akrab dengan masyarakat, seperti kisah-kisah, puisi, kesenian wayang, dan musik, untuk menjelaskan konsep-konsep tasawuf yang kompleks. Para Wali Songo juga menekankan pentingnya bimbingan spiritual murid-syekh dalam praktik tasawuf. Mereka mengajarkan bahwa bimbingan dari seorang guru sufi yang terpercaya dan berpengalaman sangat penting dalam mengembangkan kemampuan spiritual seseorang. Abdul Wadud Kasyful Humam dalam Satu Tuhan Seribu Jalan 2013 menuturkan gambaran mengenai konsepsi akidah yang dianut Wali Songo dapat ditelusuri pada tokoh sentral Alawiyyin saat itu, Abdullah bin Alawi al­Haddad al-Husaini, yang menulis karya Ratib Al-Haddad, sebuah kitab mengenai amalan zikir dan doa-doa. Amalan ratib ini sering dibaca oleh umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, sebagai sarana mencapai kedekatan dengan Allah, mengingat-Nya, serta memohon perlindungan, keberkahan, dan ampunan-Nya. Peran Alawiyyin dan Wali Songo berpadu dalam bendera dakwah Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Mereka mengajarkan bahwa praktik tasawuf harus berdampak pada pemahaman seseorang yang lebih dalam tentang Allah SWT, perubahan positif dalam diri, serta membawa manfaat bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Tasawuf Indonesia di Era Kontemporer Pada masa ini, tasawuf tetap menjadi bagian penting dari kehidupan keagamaan di Indonesia. Orang-orang masih mengikuti tarekat-tarekat sufi dan mempraktikkan ajaran-ajaran tasawuf. Namun, tasawuf juga mengalami transformasi dan adaptasi dengan perkembangan zaman. Ada banyak kelompok sufi baru yang muncul dan mencoba menggabungkan ajaran tasawuf dengan ideologi-ideologi baru. Selain itu, tasawuf juga memainkan peran penting dalam gerakan-gerakan keagamaan di Indonesia seperti gerakan Islam modern dan gerakan keagamaan Islam politik. Tasawuf Modern merupakan buah pemikiran Buya Hamka, seorang ulama dan penulis yang dikenal sebagai tokoh Islam moderat. Bukunya berisi kajian yang memadukan antara tradisi tasawuf yang telah ada sejak lama dengan akal sehat dan rasionalitas modern. Buya Hamka meyakini bahwa tasawuf tidak hanya terbatas pada upaya spiritual semata, namun juga memperhatikan kehidupan dalam masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Dalam bukunya, ia menjelaskan tentang konsep kesatuan manusia dengan alam semesta yang menjadi dasar penting dalam pemikiran tasawuf modern. Karyanya masih dipelajari di berbagai ranah pendidikan hingga kini. Tokoh-tokoh tasawuf zaman kiwari lain yang memiliki banyak pengaruh misalnya KH. Maimoen Zubair, yang dikenal sebagai kiai kharismatik dengan penyampaian dakwahnya yang sederhana. Sebelum wafat, ia aktif di berbagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, seperti Nahdlatul Ulama NU, Partai Persatuan Pembangunan PPP, Majelis Ulama Indonesia MUI, dan Dewan Masjid Indonesia DMI. Tokoh sufi lain yang kerap menjadi rujukan berbagai kalangan tentu saja Habib Lutfi bin Yahya. Ia merupakan ulama pemimpin Tarekat Ba 'Alawiyya di Indonesia dan ketua Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh al-Mu’tabaroh an-Nahdliyyah JATMAN. Tentu saja masih banyak lagi tokoh-tokoh sufi terkenal di Indonesia selain yang disebutkan di atas, termasuk pesantren dan makam-makamnya yang masih menjadi tujuan berziarah, seperti Abah Anom dari Suralaya, Tasikmalaya. Lalu ada Syekh Abdul Muhyi dari Pamijahan, Tasikmalaya. Kemudian ada Abah Guru Sekumpul di Kalimantan. Tokoh-tokoh tersebut memiliki pengaruh yang besar dalam perkembangan tasawuf di Indonesia dan masih dihormati oleh banyak orang hingga saat ini. Infografik Mozaik Tasawuf di Indonesia. Pengelompokan Tarekat JATMAN menjadi wadah dalam mengorganisasi tarekat di Indonesia sejak didirikan pada 10 Oktober 1957. Dalam klasifikasinya, sebagaimana dikutip Kompas, terdapat dua pengelompokan tarekat, yakni tarekat mu'tabarah, tarekat yang sah karena memiliki silsilah yang terhubung hingga Nabi Muhammad. Kemudian tarekat ghairu mu'tabarah, tidak sah karena silsilahnya tarekat yang tergolong tarekat mu'tabarah di Indonesia dan diakui oleh NU antara lain Tarekat Qadiriyah, Tarekat Naqsyabandiyah, Tarekat Syadziliyah, Tarekat Syathariyah, Tarekat Sammaniyah, Tarekat Tijaniyah, dan Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah. Sementara tarekat ghairu mu'tabarah atau tidak sah, misalnya Tarekat Shiddiqiyyah di Jombang, Jawa Timur. Meskipun sebagian besar berpegang teguh pada taraket lama, namun ada juga tarekat yang sama sekali baru, bahkan dianggap menyesatkan. Pertengahan 1970-an pernah ada Tarekat Hak Maliah di Banten. Awal mulanya adalah seorang Haji Mustafa, yang konon belum pernah berhaji, mengadu nasib ke Banten bermodal surat keterangan dari Kejaksaan Jakarta Timur dan dokumen ringkas dari Golkar. Ditemani asistennya, ia hendak menyebarkan Tarekat Hak Maliah ke seluruh wilayah Banten. Seturut catatan Tempo edisi November 1976, dalam waktu singkat mereka berhasil mengumpulkan 92 pengikut. Ia mengadakan ritual menanam pisang ambon yang dikafani layaknya manusia. Makam itu kemudian dianggap keramat. Kejanggalan mulai tercium aparat Kodim 602 Serang saat ajaran ini mulai menyatakan bahwa Nabi Muhammad dan Imam Syafei itu tidak ada, wali ada sepuluh, yang satu Pangeran. “Adapun yang dimaksud dengan Pangeran itu adalah pisang ambon dalam makam keramat tadi,” tulis Tempo dalam artikel bertajuk “Aliran Pisang Ambon”. Meskipun tasawuf mengalami transformasi dan adaptasi dengan perkembangan zaman, ajaran-ajarannya tetap relevan pada kehidupan masyarakat, khususnya umat Islam dan secara komprehensif juga berdampak pada perjalanan bangsa Indonesia. - Sosial Budaya Kontributor Ali ZaenalPenulis Ali ZaenalEditor Irfan Teguh Pribadi
  1. ቩиյ рըφոλуви ገծ
    1. Кизሟ ըշև оветቃլусу
    2. ዒкեча еከοմо
  2. Туզоኣеւ оклуцօ
  3. Ш ሃмθцኛреч овιсил
    1. ጫаኹեшупиры м
    2. Пс оտο
PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Sistem ekonomi kapitalis adalah sistem perekonomian yang memberikan kebebasan secara penuh kepada setiap orang untuk melaksanakan kegiatan perekonomian seperti memproduksi barang, menjual barang, menyalurkan barang dan lain sebagainya. Dalam sistem ini pemerintah bisa turut ambil bagian untuk memastikan p> Since the beginning of the archipelago, the archipelago has functioned as a cross-trade route for the West Asian, East Asian and South Asian regions. The arrival of Islam in the archipelago is full of debates, there are three main issues that historians debate. First, the place of origin of Islam. Second, the carriers. Third, the time of arrival. However, Islam has entered, grown and developed in the archipelago quite rapidly. Considering the arrival of Islam to the archipelago which at that time already had Hindu-Buddhist culture. So this is very encouraging because Islam is able to develop in the midst of the lives of people who already have strong and longstanding cultural roots. The arrival of Islam to the archipelago experienced various ways and dynamics, including trade, marriage, social culture, and so on. This causes the growth and development of Islam in this region has its own style. In addition, Ulama who came to the Nusantara region approached their people with an approach that tended to be gentle. In this case it is done with a philosophical approach to Sufism. This teaching is easily accepted and experiences rapid development in the midst of the Nusantara community so that Islam is more easily accepted. This paper uses a historical approach that emphasizes the aspects of time and chronology by using a heuristic approach, source criticism, synthesis and historiography which are characteristic of the final results of writing history.

penerjemahan BincangSyariah.Com- Perkembangan khazanah keislaman di Indonesia tidak terlepas dari keberanian para ulama terdahulu dalam menerjemahkan dan menafsirkan Al-Qur'an. Tradisi penerjemahan Al-Qur'an memang sangatlah penting untuk dilakukan. Karena hal tersebut merupakan proses masuknya ajaran Islam sebelum masuk ke dalam upaya
SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF DI INDONESIA DAN TOKOHNYA Makalah Di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf yang diampu oleh Bapak Wardi Disusun oleh Dwi Fitriyanti 20170703032055 Nur Aisyah 20170703032140 Nurul Fadilah 20170703032143 Yulinar CT 20170703032161 Shinta Dwinur Sutansyah 20170703032168 PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN 2017 Kata Pengantar Pertama-tama perkenankanlah kami selaku penyusun makalah ini mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan judul “Sejarah Perkembangan Tasawuf di Indoesia dan Tokohnya ”. Ucapan terima kasih dan puji syukur kami sampaikan kepada Allah dan semua pihak yang telah membantu kelancaran, memberikan masukan serta ide-ide untuk menyusun makalah ini. Kami selaku penyusun telah berusaha sebaik mungkin untuk menyempurnakan makalah ini, namun tidak mustahil apabila terdapat kekurangan maupun kesalahan. Oleh karena itu kami memohon saran serta komentar yang dapat kami jadikan motivasi untuk menyempurnakan pedoman dimasa yang akan datang. Pamekasan, 30 Novenber 2017 penulis Daftar Isi DaftarIsi.................................................................................................................... BAB 1 PENDAHULUAN………………………………………………………… a. Latar belakang ………………………………………………………… b. Rumusan masalah……………………………………………………… c. Tujuan masalah………………………………………………………... BAB 2 PEMBAHASAN …………………………………………………………. a. Sejarah Tasawuf di Indonesia ……………………………………........ b. Tokoh-tokoh Tasawuf di Indonesia …………………………………... BAB 3 PENUTUP ……………………………………………………………….. a. Kesimpulan …………………………………………………………… DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………. BAB 1 Latar Belakang Penyebaran Islam yang berkembang secara spektakuler di indonesia berkat peranan dan kontribusi tokoh-tokoh tasawuf adalah kenyataan yang diakui oleh hampir mayoritas sejarawan dan peneliti. Hal itu disebabkan oleh sifat-sifat dan sikap kaum sufi yang lebih kompromis dan penuh kasih sayang. Terdapat kesepakatan dikalangan sejarawan dan peneliti, orientalis, dan cendikiawan Indonesia bahwa tasawuf adalah faktor terpenting bagi tersebarnya Islam secara luas. B. Rumusan Masalah 1. Apa pengertian sejarah tasawuf di Indonesia? 2. Siapa saja tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia dan ajarannya? Jelaskan! C. Tujuan Masalah 1. Untuk mengetahui sejarah tasawuf di Indonesia 2. Untuk mengetahui tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia BAB II PEMBAHASAN A. Sejarah tasawuf di Indonesia Perkembangan tasawuf di Indonesia, tidak lepas dari pengkajian proses islamisasi dikawasan ini. Sebab, sebagian besar penyebaran Islam di Nusantara merupakan jasa para sufi. Hal ini menunjukkan bahwa pengikut tasawuf merupakan unsur yang cukup dominan dalam masyarakat pada masa itu.[1] Sejak berdirinya kerajaan Islam Pasai, kawasan Pasai menjadi titik sentral penyiaran agama Islam ke berbagai daerah di Sumatera dan pesisir utara Pulau Jawa. Islam tersebar di tanah Minangkabau atas upaya Syekh Burhanuddin Ulakan Syekh Tarekat Syattariyah. Sampai sekarang, kebesaran nama Syekh dari Ulakan tetap diabadikan masyarakat pesisir Minangkabau melalui upacara “basapa” pada setiap bulan Safar. Penyebaran Islam ke Pulau Jawa, juga berasal dari kerajaan Pasai, terutama atas jasa Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishak, dan Ibrahim Asmuro.[2] Perkembangan Islam di tanah Jawa selanjutnya digerakkan oleh Wali Songo atau Wali Sembilan. Sebutan ini sudah cukup menunjukkan bahwa mereka adalah penghayat tasawuf yang sudah sampai derajat “wali”. Para wali bukan saja berperan sebagai penyiar Islam, melainkan mereka juga ikut berperan kuat pada pusat kekuasaan kesultanan. Karena posisi itu, mereka mendapat gelarSusuhunan yang biasa disebut Sunan. Dari peranan politik itu, mereka dapat “meminjam” kekuasaan sultan dan kelompok elite keraton dalam menyebarkan dan memantapkan penghayatan Islam sesuai dengan keyakinan sufisme yang mereka anut. Warna sufisme yang kental juga terlihat dari nilai anutan mereka yang didominasi sufisme aliran al-Ghazali. Buku-buku karangan al-Ghazali menjadi sumber bacaan sufisme yang paling digemari dan pada umumnya memuat pokok bahasan tasawuf akhlak dan tasawuf amali. Pengaruh tasawuf falsafi cukup kuat dan luas penganutnya dikalangan penganut tarekat. Sedangkan tokohnya yang paling populer pada masa itu adalah Syekh Siti Jenar. Semenjak penyiaran Islam di Jawa diambil alih oleh kerabat elite keraton, secara perlahan-lahan terjadi proses akulturasi sufisme dengan kepercayaan lama dan tradisi lokal, yang berakibat bergesernya nilai keislaman sufisme karena tergantikan oleh model spiritualis nonreligius.[3] B. Tokoh-Tokoh Tasawuf di Indonesia Ada banyak sekali tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia. Ada beberapa lima tokoh yang paling dikenal, diantaranya adalah 1. Hamzah Al-Fansuri Hampir semua penulis sejarah islam mencatat bahwa Syekh Hamzah al-Fansuri dan muridnya Syekh Syamsuddin as-Sumatrani termasuk tokoh sufi yang sepaham dengan al-Hallaj. Syekh Hamzah al-Fansuri diakui sebagai salah seorang pujangga Islam yang sangat populer pada zamannya. Namanya tercatat sebagai seorang kaliber besar dalam perkembangan Islam di Nusantara dari abadnya hingga ke abad kini.[4] Beliau adalah seorang ulama’ yang cerdas dan menguasai dengan baik bahasa Arab, Persi, Jawa, Melayu, Aceh, Siam dan Urdu. Beliau banyak melakukan pengembaraan ke berbagai Negara dan tempat di kepulauan Nusantara, Semenanjung Melayu, Siam, India, Persia dan Arab. Menurut para ahli, beliau adalah sebagai perintis bahasa Melayu dalam bidang sastra tulis. Melalui beliau inilah bahasa Melayu terangkat tinggi sehingga disebut sebagai Bapak Bahasa dan Sastra Melayu. Beliau juga adalah orang yang pertama kali menciptakan syair dan pantun.[5] Syekh Hamzah Fansuri adalah penganut faham Wahdatul Wujud. Faham Wahdatul Wujud inilah yang mengakibatkan beliau dan muridnya, Syekh Syamsuddin Sumatrani mendapatkan tantangan keras dari ulama’-ulama’ syari’at, terutama oleh Syekh Nuruddin ar Raniri karena menganut faham nilai beliau dicap sebagai orang yang zindiq, sesat, kafir, dan sebagainya. Selain menganut faham Wahdatul Wujud, ijttihad dan hulul dalam bidang tashawwuf, beliaupun dikatakan juga sebagai penganut syi’ah dalam aqidah. Syekh Hamzah Fansuri sangat giat dalam menyebarkan dan mengembangkan thariqat ke berbagai negeri. Beliau pernah sampai ke berbagai negeri di Timur Tengah utamanya Mekkah dan Madinah. Begitu pula dengan negeri-negeri di Nusantara pernah dijelajahi, seperti Pahang, Kedah, Banten, Jawa dan sebagainya. Bahkan ada yang mengatakan pernah sampai ke seluruh Semenanjung dan memperkembangkan tashawwuf itu di negeri Perak, Perlis, Kelantan, Trengganu dan lain-lain.[6] Disamping giat menyebarkan tashawwuf ke berbagai pelosok negeri, beliaupun giat menulis baik dalam bentuk puisi maupun prosa. Pengaruh dari karya Syekh Hamzah Fansuri memang luar biasa besarnya. Karena itu, karya-karya beliau baik yang berbentuk puisi maupun prosa banyak mendapat perhatian para sarjana maupun orentalis barat. Demikian perjuangan Syekh Hamzah Fansuri dalam menyebarkan ilmu pengetahuan dan faham yang diyakininya di tengah-tengah masyarakat sampai akhir hayatnya. Dan hingga sekarang kuburnya tidak diketahui.[7] 2. Syamsuddin Al-Sumatrani Syamsuddin Sumatrani adalah putra seorang ulama Aceh terkenal yang bernama Syekh Abdullah as Sumatrani.[8] Pemikiran tasawufnya Syamsuddin al-Sumatrani membahas tentang martabat tujuh dan dua puluh sifat Tuhan. Konsep martabat tujuh ini pertama kali dicetuskan oleh Muhammad Ibn Fadlullah al-Burhanpuri seorang ulama kelahiran India.[9] Beliau mendapatkan pendidikan dari tokoh shufi pada masa itu, yaitu Syekh Hamzah Fansuri di Aceh dan kemudian beliau melanjutkan pendidikannya di Pulau Jawa dimana pada saat itu agama Islam sudah berkembang pesat berkat perjuangan gigih dari para Walisongo. Syamsuddin Sumatrani sangat giat mempelajari ilmu keislaman terutama ilmu tashawwuf. Terbukti dari guru-guru yang beliau pilih adalah para tokoh ahli tashawwuf. Baik Syekh Hamzah Fansuri maupun Syekh Maulana Makdum Ibrahim adalah para ulama’ ahli tashawwuf yang cukup terkenal ketika itu. Meskipun keduanya berbeda aliran dalam tashawwufnya dan faham yang dianutnya.[10] Setelah beliau menamatkan pelajarannya dan kembali ke kampung halamannya Aceh, nampaknya beliau langsung mendapat tempat pada posisi yang terbaik di Kerajaan Aceh. Beliau di percaya memangku jabatan “Perdana Menteri” di Kerajaan Aceh. Disamping itu, beliau juga termasuk seorang pujangga Islam Indonesia yang kedua setelah Syekh Hamzah Fansuri. Disamping beliau disibukkan dalam kegiatan pemerintahan Kerajaan Aceh, beliau tetap giat menyebarkan dan mengembangkan tashawwuf dengan mengajar dan menulis. Tashawwuf yang diajarkan dan dikembangkan oleh Syekh Syamsuddin Sumatrani tidak berbeda dengan gurunya Syekh Hamzah Fansuri, yaitu faham Wahdatul Wujud, hulul, ittihad dan sebangsanya. Karena faham inilah beliau banyak mendapat kecaman dari berbagai kalangan.[11] Jumlah keseluruhan karya Syekh Syamsuddin Sumatrani keseluruhan yang diketahui ada 18 kitab. Dari karya-karya beliau ini Nampak sekali keluasan dan kedalaman ilmu beliau, sehingga beliau menjadi seorang ulama’ yang disegani baik lawan maupun kawan. Sewaktu beliau wafat pada tanggal 12 Rajab 1039 H / 1619 M. ada yang mengatakan beliau wafat tahun 1661 M. Syekh Nuruddin ar Raniri menulis pengakuan tentang kealiman beliau dalam kitabnya yang bernama Bustanus Salatin.[12] 3. Nuruddin Ar-Raniri Ar-Raniri dilahirkan di Ranir, sebuah kota pelabuhan tua di Pantai Gujarat, India. Pendidikan pertamanya diperoleh di Ranir kemudian dilanjutkan ke wilayah Hadramaut. Menurut catatan Azyumardi Azra, ar-Raniri merupakan tokoh pembaruan di Aceh. Ia mulai melancarkan pembaruan Islamnya di Aceh setelah mendapat pijakan yang kuat di istana Aceh. Pembaruan utamanya adalah memberantas aliran Wujudiyyah yang dianggap sebagai aliran sesat. ar-Raniri dikenal pula sebagai seorang syekh Islam yang mempunyai otoritas untuk mengeluarkan fatwa menentang aliran Wujudiyyah ini.[13] Menurutnya, pendapat Hamzah al-Fansuri tentang Wahdat Al-Wujud dapat membawa pada kekafiran. Ar-Raniri berpandangan bahwa jika benar Tuhan dan makhluk hakikatnya satu, dapat dikatakan bahwa manusia adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia, dan jadilah seluruh makhluk itu adalah Tuhan. Semua yang dilakukan manusia, baik buruk maupun baik, Allah SWT. turut serta melakukannya. Jika demikian halnya, manusia mempunyai sifat-sifat Tuhan. Pemisahan antara syariat dan hakikat, menurut ar-Raniri, merupakan sesuatu yang tidak benar. Untuk menguatkan argumentasinya, ia mengajukan beberapa pendapat pemuka sufi, di antaranya adalah Syekh Abdullah al-Aidarusi yang menyatakan bahwa tidak ada jalan menuju Allah SWT., kecuali melalui syariat yang merupakan pokok dan cabang Islam.[14] Pendirian ar-Raniri dalam masalah ketuhanan pada umumnya bersifat kompromis. Ia berupaya menyatukan paham Mutakallimin dengan paham para sufi yang diwakili Ibnu Arabi. Pandangan ar-Raniri hampir sama dengan Ibnu Arabi bahwa alam ini merupakan tajalli Allah SWT. Akan tetapi, tafsirannya membuatnya terlepas dari label panteisme Ibnu Arabi. Ar-Raniri berpandangan bahwa alam ini diciptakan Allah SWT. melaluitajalli. Ia menolak teori al-faidh emanasi al-Farabi karena membawa pada pengakuan bahwa alam ini qadim sehingga dapat jatuh pada kemusyrikan.[15] Gema pemikiran ar-Raniri sampai juga ke daerah Nusantara lainnya sehingga buku-bukunya banyak dipelajari orang. Pemikiran-pemikiran tasawuf Nuruddin ar-Raniri banyak diterima dan dipelajari oleh Sultan Iskandar Tsani sehingga kebijakan Nuruddin mengeluarkan fatwa “kufur” kepada wujudiyah ternyata didukung oleh sultan.[16] Pemikiran ar-Raniri tersebut ternyata berpengaruh besar ke seluruh Nusantara sehingga peranan Nuruddin ar-Raniri dalam perkembangan Islam di wilayah Melayu Indonesia. Kehadiran Nuruddin ar-Raniri harus diakui telah berhasil mematahkan pemikiran wujudiyah-nya Syamsuddin al-Sumatrani.[17] 4. Abdur Rauf as-Sinkili Syekh Abdur Rauf Bin Ali Fansuri adalah seorang penyebar pertama thariqat Syathariyah di Indonesia. Beliau adalah murid dari Syekh Shafiuddin Ahmad ad-Dajjani al-Qusysyi, seorang guru besar shufi di Mekkah dan juga murid dari Syekh Ibrahim Al Kurani, seorang guru besar di Madinah.[18] Sebelum as-Sinkili membawa ajaran tasawufnya, di Aceh telah berkembang ajaran tasawuf falsafi, yaitu tasawuf Wujudiyyah yang kemudian dikenal dengan namaWahdat Al-Wujud. Ajaran tasawuf Wujudiyyah ini dianggapnya sebagai ajaran sesat dan penganutnya dianggap sudah murtad. as-Sinkili berusaha merekonsiliasi antara tasawuf dan syariat. Ajaran Tasawufnya sama dengan Syamsuddin dan Nuruddin, yaitu menganut paham satu-satunya wujud hakiki, yaitu Allah SWT., sedangkan alam ciptaan-Nya bukanlah merupakan wujud hakiki, melainkan bayangan dari yang hakiki. Menurutnya, jelaslah bahwa Allah SWT. berbeda dengan alam. Walaupun demikian, antara bayangan alam dan yang memancarkan bayangan Allah tentu terdapat keserupaan. Sifat-sifat manusia adalah bayangan Allah SWT., seperti yang hidup, yang tahu, dan yang melihat. Pada hakikatnya, setiap perbuatan adalah perbuatan Allah SWT.[19] Ajaran tasawuf al-Sinkli yang lain adalah bertalian dengan martabat perwujudan. Syekh Abdul Rauf al-Sinkili, dalam segi lain sering dipandang sebagai penganjur Tarekat syatariyat yang menilai banyak murid di Nusantara. Pemahaman Abdul Rauf terhadap konsep martabat tujuh terletak pada posisi Tuhan terhadap ciptaan-Nya. Ia lebih menekankan aspek imanensi yang menurut, sebagai paham kaum Wujudiyah.[20] Para penyebar thariqat Syathariyyah yang semuanya berpuncak pada Syekh Abdur Rauf Bin Ali Fansuri wafat boleh dikatakan tiada lagi generasi pelanjutnya. Namun thariqat ini pengaruhnya tetap ada hingga saat ini.[21] 5. Yusuf al-Makasari Syekh Yusuf al-Makasari adalah seorang tokoh sufi agung yang berasal dari Sulawesi. Naluri fitrah pribadi Syekh Yusuf sejak kecil telah menampakkan bahwa ia cinta akan pengetahuan keislaman. Dalam tempo relatif singkat, ia tamat mempelajari al-Qur’an 30 juz.[22] Pada masa Syekh Yusuf, memang hampir setiap orang lebih menggemari ilmu tasawuf. Syekh Yusuf pernah melakukan perjalanan ke Yaman. Di Yaman, ia menerima tarekat dari syekhnya yang terkenal, yaitu Syekh Abi Abdullah Muhammad Baqi Billah. Semua tarekat yang telah dipelajari Syekh Yusuf mempunyai silsilah yang bersambung hingga kepada Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi, semua silsilah itu belum ditemukan, kecuali silsilah Naqsabandiyah yang terdapat pada salah satu tulisan tangannya.[23] Syekh Yusuf mengungkapkan paradigma sufistiknya bertolak dari asumsi dasar bahwa ajaran Islam meliputi dua aspek, yaitu aspek lahir syariat dan aspek batin hakikat. Syariat dan hakikat harus dipandang dan diamalkan sebagai satu kesatuan. Syekh Yusuf menggarisbawahi bahwa proses ini tidak akan mengambil bentuk kesatuan wujud antara manusia dengan Tuhan.[24] Kalau ajaran Abdul Rauf singkat ialah boleh dikatakan tidak mempunyai paham atau ajaran yang tersendiri. Dalam masalah keagamaan, beliau mengikuti paham Ahlussunnah Waljama’ah dan khusus dalam bidang fikih beliau adalah pengikut syafi’iyah, sedangkan dalam tasawuf mengikuti thariqat syattariyah dan paham-paham ini pulalah yang ia sebarkan dalam semua kegiatan dakwahnya.[25] Meskipun berpegang teguh pada transedensi Tuhan, ia meyakini bahwa Tuhan melingkupi segala sesuatu dan selalu dekat dengan sesuatu. Mengenai hal ini,Syekh Yusuf mengembangkan istilah ihathahpeliputan dan al-ma’iyyahkesertaan. Kedua istilah itu menjelaskan bahwa Tuhan turun tanazul, sementara manusia naik taraqi, suatu proses spiritual yang membawa keduanya semakin dekat. Syekh Yusuf menggarisbawahi bahwa proses ini tidak akan mengambil bentuk kesatuan wujud antara manusia dan Tuhan. Syekh Yusuf berbicara pula tentang insan kamil dan proses penyucian jiwa. Ia mengatakan bahwa seorang hamba akan tetap hamba walaupun telah naik derajatnya, dan Tuhan akan tetap Tuhan walaupun turun pada diri hamba. Menurutnya, kehidupan dunia bukanlah untuk ditinggalkan dan hawa nafsu harus dimatikan.[26] BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Perkembangan tasawuf di Indonesia, tidak lepas dari pengkajian proses islamisasi dikawasan ini. Sebab, sebagian besar penyebaran Islam di Nusantara merupakan jasa para sufi. Hal ini menunjukkan bahwa pengikut tasawuf merupakan unsur yang cukup dominan dalam masyarakat pada masa itu. Perkembangan Islam di tanah Jawa selanjutnya digerakkan oleh Wali Songo atau Wali Sembilan. Para wali bukan saja berperan sebagai penyiar Islam, melainkan mereka juga ikut berperan kuat pada pusat kekuasaan kesultanan. 2. Tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia a. Hamzah Al-Fansuri Menurut para ahli, beliau adalah sebagai perintis bahasa Melayu dalam bidang sastra tulis. Melalui beliau inilah bahasa Melayu terangkat tinggi sehingga disebut sebagai Bapak Bahasa dan Sastra Melayu. Beliau juga adalah orang yang pertama kali menciptakan syair dan pantun. b. Syamsuddin al-Sumatrani Jumlah keseluruhan karya Syekh Syamsuddin Sumatrani keseluruhan yang diketahui ada 18 kitab. Dari karya-karya beliau ini nampak sekali keluasan dan kedalaman ilmu beliau, sehingga beliau menjadi seorang ulama’ yang disegani baik lawan maupun kawan. c. Nuruddin ar-Raniri Ar-Raniri dikenal pula sebagai seorang syekh Islam yang mempunyai otoritas untuk mengeluarkan fatwa menentang aliran Wujudiyyah ini. Ar-Raniri berpandangan bahwa jika benar Tuhan dan makhluk hakikatnya satu, dapat dikatakan bahwa manusia adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia, dan jadilah seluruh makhluk itu adalah Tuhan. Semua yang dilakukan manusia, baik buruk maupun baik, Allah SWT. turut serta melakukannya. Jika demikian halnya, manusia mempunyai sifat-sifat Tuhan. d. Abdur Rauf as-Sinkili As-Sinkili berusaha merekonsiliasi antara tasawuf dan syariat. Menurutnya, jelaslah bahwa Allah SWT. berbeda dengan alam. Walaupun demikian, antara bayangan alam dan yang memancarkan bayangan Allah tentu terdapat keserupaan. Sifat-sifat manusia adalah bayangan Allah SWT., seperti yang hidup, yang tahu, dan yang melihat. Pada hakikatnya, setiap perbuatan adalah perbuatan Allah SWT. e. Yusuf al-Makasari Syekh Yusuf mengungkapkan paradigma sufistiknya bertolak dari asumsi dasar bahwa ajaran Islam meliputi dua aspek, yaitu aspek lahir syariat dan aspek batin hakikat. Syariat dan hakikat harus dipandang dan diamalkan sebagai satu kesatuan. Syekh Yusuf menggarisbawahi bahwa proses ini tidak akan mengambil bentuk kesatuan wujud antara manusia dengan Tuhan. DAFTAR PUSTAKA Anwar, Rosihon, Akhlak Tasawuf, Bandung Pustaka Setia,2010 Nasution Bangun, Ahmad dan Sinegar Hanum, Rayani, Akhlak Tasawuf, Jakarta RajaGrafindo Persada,2013 Asrifin, Tokoh-tokoh Shufi,Surabaya Karya Utama [1] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Bandung Pustaka Setia, 2010, hlm. 337. [5] Asrifin, Tokoh-Tokoh Shufi, Surabaya Karya Utama, hlm 256 [9] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, Jakarta RajaGrafindo Persada,2013, hlm. 65. [10] Asrifin,Tokoh-Tokoh Shufi, hlm. 256. [13] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, hlm. 344. [16] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, hlm. 65. [18] Asrifin, Tokoh-Tokoh Shufi, hlm. 263. [19] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, hlm. 348. [20] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, hlm. 67. [21] Asrifin, Tokoh-Tokoh Shufi, hlm. 264. [22] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, hlm. 349. [24] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, hlm. 68. [26] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, hlm. 352.
Dalamkontek pembaharuan pemikiran hukum Islam di Indonesia, gerakan ijtihad menunjukkan adanya metode dan kecenderungan yang beragam. Ibrahim Hosen misalnya, memiliki empat langkah ijtihad, yakni: 1) menggalakkan lembaga ijtihad. 2) mendudukkan fiqih pada proporsi yang semestinya. Uploaded byArief Hakim P Lubis 80% found this document useful 5 votes8K views3 pagesCopyright© Attribution Non-Commercial BY-NCAvailable FormatsDOCX, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?Is this content inappropriate?Report this Document80% found this document useful 5 votes8K views3 pagesPerkembangan Tasawuf Di IndonesiaUploaded byArief Hakim P Lubis Full descriptionJump to Page You are on page 1of 3Search inside document Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime. Atasdasar ini, maka julukan "Serambi Mekkah" yang disandangnya tidaklah berlebihan. Untuk itu, dalam pembicaraan tentang pemikiran tasawuf di Indonesia, maka Aceh menempati posisi pertama dan strategis, karena nantinya akan mewarnai perkembangan tasawuf di Indonesia secara keseluruhan. Orang Aceh telah lama merasa bangga akan negeri mereka.
Sejarahdan Pemikiran Tasawuf di Indonesia di Tokopedia ∙ Promo Pengguna Baru ∙ Cicilan 0% ∙ Kurir Instan. Download Tokopedia App. Tentang Tokopedia Mitra Tokopedia Mulai Berjualan Promo Tokopedia Care. Kategori. Masuk Daftar. realme c11 kunci l jaket pria case iphone 13 pro max sepeda gunung set top box tv digital.
JfMk. 179 353 333 40 321 363 119 224 81

pertanyaan tentang sejarah perkembangan tasawuf di indonesia